Lampung Utara- Aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat dari 16 desa di Kecamatan Sungkai Utara dan Sungkai Tengah, Kabupaten Lampung Utara, pada Rabu, 10 September 2025, terus menggema.

Terbaru, warga menuntut pertanggungjawaban PT Paramita Mulya Langgeng (PML) atas dampak lingkungan yang ditimbulkan serta dugaan praktik korupsi yang menyelimuti perusahaan tersebut.

Masyarakat yang beranggotakan petani, aktivis lingkungan, dan warga yang terdampak langsung oleh aktivitas perusahaan tersebut menuntut agar perusahaan ini segera dihentikan operasionalnya.

Salah satu temuan yang membuat aksi ini semakin panas adalah hasil investigasi yang mengungkapkan adanya kesamaan nama antara PT PML Register 46 dan PT PML Tulung Buyut.

PT PML Tulung Buyut, yang bergerak di sektor pengelolaan serbuk kayu, diduga memiliki kaitan erat dengan PT PML Register 46 yang saat ini sedang disorot oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan praktik suap dalam pengelolaan hutan register.

Meskipun dugaan tersebut semakin kuat, PT PML Tulung Buyut melalui Herman, pengawas pabrik, membantah adanya hubungan dengan PT PML Register 46. Menurut Herman, hal ini hanya kebetulan semata. “Kami berdiri sendiri, tidak ada kaitannya dengan PT PML Register 46,” ujar Herman dalam wawancara pada Kamis, 18 September 2025.

Namun, klaim tersebut tidak mengurangi kekhawatiran masyarakat. Aktivitas PT PML yang selama ini beroperasi tanpa kontrol yang jelas telah mengarah pada kerusakan lingkungan yang semakin parah.

Dalam pertemuan dengan wartawan, Herman juga mengungkapkan bahwa perizinan perusahaan telah lengkap, dengan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Dinas Lingkungan Hidup.

Ia juga menyebutkan bahwa bahan baku serbuk kayu berasal dari PT BLS dan Silva yang sudah memiliki sertifikasi, meski ini belum cukup meredakan kecemasan warga.

Warga Menuntut Tegas Pemerintah dan PT PML

Dalam aksi yang penuh semangat tersebut, warga mengeluarkan tujuh tuntutan kepada pihak PT PML dan pemerintah setempat. Tuntutan pertama adalah penghentian segala bentuk aktivitas perusahaan, baik yang ada di lapangan maupun di kantor, sebagai bentuk tanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh PT PML.

Muhammad Iqbal, Koordinator Aksi sekaligus Kepala Desa Baru Harja, menyerukan agar hentikan semua kegiatan PT PML demi proses hukum yang sedang berlangsung.

“Kami tidak akan mundur dalam memperjuangkan hak kami.”tegasnya.

Ia menambahkan bahwa perjuangan ini bukanlah tentang melawan perusahaan dengan senjata, melainkan dengan akal sehat dan hati nurani.

Meskipun mendapat penolakan keras dari PT PML, Iqbal tetap kukuh dalam tuntutannya. Ia bersama masyarakat akan terus berjuang, meski aspirasi di tolak.

Lanjutnya dalam tuntutan tersebut terdapat beberapa poin penting lainnya, seperti pencabutan izin usaha PT PML dan tuntutan untuk memproses hukum secara transparan atas dugaan suap dan korupsi dalam pengelolaan hutan register 46.

Perjuangan untuk Hutan dan Ketahanan Pangan

Poin tuntutan lain yang diusung warga adalah agar pemerintah mengalihfungsikan kawasan hutan produksi yang selama ini dikelola PT PML menjadi kawasan ketahanan pangan yang dapat dikelola oleh masyarakat lokal.

Warga menilai bahwa pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat akan lebih mendatangkan manfaat jangka panjang untuk ketahanan pangan daerah.

“Kami ingin kawasan register 46 menjadi benteng ketahanan pangan yang berkelanjutan, untuk mencapai kedaulatan pangan, seperti yang telah dititahkan oleh Presiden Prabowo,” tegas Iqbal.

Menghadapi Ancaman Perusakan Lingkungan

Tuntutan ini juga mencakup permintaan untuk melibatkan masyarakat secara langsung dalam pengelolaan kawasan hutan register 46.

Bukan dengan cara “dikebiri” atau “diadu” antara satu desa dengan desa lainnya, tetapi melalui pengelolaan yang inklusif dan berkelanjutan. Warga ingin hak mereka untuk mengelola hutan diberikan ruang, bukan hanya dikendalikan oleh perusahaan besar yang mengutamakan profit semata.

Kampanye ini semakin relevan mengingat saat ini banyak kebijakan pengelolaan hutan yang lebih berpihak pada korporasi besar, tanpa memperhatikan dampak terhadap masyarakat lokal dan keberlanjutan ekosistem.

Menurut undang-undang, pengelolaan hutan seharusnya mengutamakan prinsip-prinsip konservasi dan pemberdayaan masyarakat, bukan penghancuran sumber daya alam demi keuntungan jangka pendek.

Jika tuntutan ini diabaikan, maka kerusakan lingkungan yang lebih parah, serta ketidakadilan sosial, hanya akan semakin meluas. Oleh karena itu, masyarakat setempat dengan penuh semangat terus menggulirkan tuntutannya kepada pemerintah dan PT PML, berharap agar kebijakan yang pro-lingkungan dan pro-masyarakat segera diimplementasikan.

Aspek Hukum: Tantangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Perlindungan Masyarakat

Dari perspektif hukum, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam konteks perjuangan masyarakat terhadap PT PML.

Pencabutan Izin Usaha dan Tanggung Jawab Hukum Korporasi salah satu tuntutan utama warga adalah pencabutan izin usaha PT PML. Ini mengarah pada dua permasalahan hukum utama: pencabutan izin usaha dan tanggung jawab korporasi atas kerusakan lingkungan. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap perusahaan yang merusak lingkungan dapat dikenakan sanksi administratif, yang bisa mencakup pencabutan izin usaha. Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan juga mengatur bahwa perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban lingkungan bisa menghadapi pembekuan atau pencabutan izin. Oleh karena itu, jika PT PML terbukti merusak lingkungan atau terlibat dalam praktik yang merugikan masyarakat, pihak berwenang wajib memproses hal ini secara tegas.

Transparansi dan Proses Hukum yang adil tuntutan masyarakat untuk proses hukum yang tegas dan transparan mencakup dugaan praktik suap dalam pengelolaan hutan register.

Jika terbukti ada keterlibatan dalam praktik korupsi, baik dalam bentuk suap atau pengalihan izin secara ilegal, ini akan menjadi pelanggaran serius. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap bentuk suap dalam proses pengelolaan sumber daya alam dapat dikenakan sanksi pidana. Korporasi, sebagai entitas hukum, juga bisa dikenai sanksi pidana melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Hak Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan

Tuntutan untuk mengalihfungsikan hutan produksi dan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan harus dilihat dalam konteks Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Menurut hukum kehutanan Indonesia, masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan, terutama jika tujuan tersebut mengarah pada pelestarian alam dan pemberdayaan ekonomi lokal. Namun, untuk mengimplementasikan hal ini, pemerintah daerah perlu memastikan bahwa hak-hak masyarakat diakui dalam kebijakan pengelolaan hutan yang ada.

Keberlanjutan dan Perlindungan Lingkungan
Dalam konteks keberlanjutan lingkungan, segala bentuk perusakan hutan atau pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip konservasi bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pihak PT PML wajib mematuhi peraturan yang ada, termasuk melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang komprehensif dan memastikan bahwa operasional perusahaan tidak merusak ekosistem secara permanen. Jika terbukti bahwa PT PML tidak memenuhi standar lingkungan yang berlaku, mereka dapat dikenakan sanksi berat.

Kesimpulan: Aksi Warga sebagai Benteng Lingkungan

Aksi yang dilakukan oleh warga ini tidak hanya sekadar unjuk rasa, tetapi juga sebuah seruan yang kuat untuk keadilan sosial dan lingkungan. Jika pemerintah dan perusahaan tidak segera merespon tuntutan ini, maka dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat bisa semakin merugikan. Inilah saatnya untuk berpihak pada keberlanjutan dan hak-hak rakyat, bukan pada korporasi yang mengabaikan prinsip keadilan.