SITUBONDO – Proyek pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Situbondo mulai bergulir. Ini menjadi proyek besar pertama di masa pemerintahan Bupati Situbondo, Rio. sorotan publik tertuju pada proses pelaksanaannya.

Pasalnya, sejak masa kampanye, Rio mengusung jargon “tak congocoa, tak ngico’a” yang berarti tidak akan membohongi, tidak akan mencuri. Namun, di balik janji tersebut, praktik pengadaan barang dan jasa di berbagai daerah, termasuk Situbondo, kerap menjadi ladang rawan korupsi.

“Sejak dulu, kasus korupsi terbesar di negeri ini paling banyak terjadi pada sektor pengadaan barang dan jasa. Di sinilah sering terjadi persekongkolan jahat,” kata Amir Mustofa, pemerhati kebijakan pemerintah Situbondo, Kamis (25/9/2025).

Menurut Amir, praktik persekongkolan biasanya melibatkan penyelenggara, penyedia jasa, hingga pihak ketiga yang punya kedekatan dengan kekuasaan. Salah satu modus yang kerap terjadi adalah pengaturan pemenang tender sejak awal.

“Bermain di surat dukungan itu sudah hal lumrah. Panitia mengirim daftar proyek ke pemberi dukungan, lengkap dengan siapa yang harus diberi dukungan. Di situlah sebenarnya ‘kue APBD’ mulai dibagi,” ungkap Amir.

Amir menyebut, pada P-APBD 2025 di Situbondo, sejumlah pihak menuding ada sosok yang disebut “Mr H” sebagai koordinator. Dia dikenal sebagai bendahara bayangan penerima pinjaman dana kampanye Pilkada lalu.

“Melalui dia, fee proyek kabarnya dikumpulkan lalu dibagi-bagikan ke pihak-pihak yang dianggap berjasa saat Pilkada. Kalau benar demikian, publik wajar khawatir soal kualitas pekerjaan,” kata Amir.

Amir menjelaskan, ada dua kemungkinan yang biasanya terjadi pada proyek semacam ini. Pertama, sejak awal anggaran sudah dimark-up agar cukup untuk dibagi-bagi. Kedua, kualitas pekerjaan menjadi korban karena anggaran harus dipangkas untuk kepentingan non-teknis.

“Sangat mudah melihat proyek yang sudah diatur. Di lembar evaluasi, pemenang yang dikunci sejak awal pasti paling lengkap persyaratan dukungannya. Sementara penyedia lain, pasti ada yang kurang,” jelasnya.

Salah satu proyek yang disoroti adalah pembongkaran dan rehabilitasi cagar budaya di Besuki senilai belasan miliar rupiah. Menurut Amir, proyek tersebut sejak awal sudah dikaitkan dengan kontraktor yang disebut dekat dengan salah satu kelompok pengendali kekuasaan.

“Dalam dokumen dukungan, material disebut dengan merek tertentu. Padahal aturan seharusnya hanya mencantumkan spesifikasi. Itu tanda bahwa sejak awal ada indikasi penguncian,” ucap Amir.

Amir menambahkan, sulit membayangkan Bupati Rio tidak mengetahui mekanisme ini. Pasalnya, berdasarkan informasi yang ia terima, sebagian fee proyek diduga akan digunakan untuk membayar hutang politik.

“Kalau itu benar, maka sama saja pemerintah sedang menjalankan politik balas budi. Bahayanya, jika suatu saat aparat penegak hukum menjerat operator atau penyelenggara, mereka bisa membuka fakta soal aliran dana untuk kepentingan apa saja fee proyek dipakai,” kata Amir.

Amir pun mengingatkan, meski tidak terlibat langsung, risiko tetap ada. “Kasus seperti yang pernah menjerat kepala daerah lain harus jadi pelajaran. Kalau bawahan atau tim mengaku dana dipakai bayar hutang politik, posisi kepala daerah bisa ikut terseret,” tutupnya.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak Pemerintah maupun pihak penyelenggara terkait dugaan tersebut.

Bersambung. . . . . . .